PENDIDIKAN KARAKTER

Latar Belakang
Merujuk pendapat para tokoh dan pakar pendidikan dunia menyepakati bahwa pembentukan karakter menjadi salah satu tujuan pendidikan. Menurut analisis Thomas Lickona, bangkitnya logika positifisme yang menyatakan bahwa tidak ada kebenaran moral dan tidak ada sasaran benar salah, telah menenggelamkan pendidikan moral dari permukaan dunia pendidikan. Paham personalisme yang menyatakan bahwa setiap pribadi bebas menentukan nilai-nilainya sendiri dan tidak bisa dipaksakan oleh siapapun, dan meningkatnya paham pluralisme yang mempertanyakan nilai-nilai siapakah yang diajarkan, semakin melengkapi penolakan pendidikan karakter.
Di Indonesia, pendidikan karakter atau pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti sudah dikenal sejak jaman prakemerdekaan. Pendidikan budi pekerti merupakan penanaman nilai-nilai moral dan etika yang melandasi sikap dan tingkah laku dalam pergaulan sehari-hari. Nilai-nilai yang diajarkan adalah nilai-nilai dan norma yang bersumber dari masyarakat, undang-undang, serta nilai-nilai agama.
Setelah Indonesia mengalami sistem demokrasi terpimpin pada era prsiden Soekarno, pendidikan budi pekerti muncul dalam bentuk indoktrinasi. Kemudian pada zaman orde baru di bawah pinpinan presiden Soeharto, indoktrinasi itu berubah dalam bentuk penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang bukan hanya menjadi mata pelajaran wajib tetapi juga menjadi penataran wajib. Di semua jenjang sekolah wajib mengajarkan P4, demikian juga setiap warga negara, khususnya jajaran pegawai, wajib mengikuti penataran P4. Bersamaan lahirnya reformasi, lahirlah kurikulum berbasis kompetensi yang mendorong lahirnya kembali pendidkan karakter, sebagaimana tertuang dalam UU tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.


Konsep Pendidikan Karakter
Dalam kurikulum berbasis kompetensi jelas dituntut muatan soft skill yang yang berupa pendidikan karakter atau budi pekerti. Mengingat soft skill lebih mengarah pada pendidikan psikologis, maka dampak yang diharapkan tidak akan kasat mata, tetapi tetap bisa dirasakan. Akibat yang bisa dirasakan itu misalnya sikap sopan santun, disiplin, keteguhan hati, kemampuan bekerja sama, kepedulian membantu orang lain, dan sebagainya. Keabstrakan kondisi tersebut mengakibatkan soft skill tidak dapat dievaluasi secara tekstual karena indikator-indikator soft skill lebih mengarah pada eksistensi seseorang dalam kehidupannya.
Menurut Tadkirotun Musfiroh (UNY, 2008) karakter mengacu pada serangkaian sikap, perilaku, motivasi, dan keterampilan. Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan kebaikan dalam tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, tamak, kejam, dan sebagainya dikatakan orang yang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan norma-norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat serta agama dikatakan sebagai orang yang berkarakter baik.
Sementara itu, Prof Suyanto, Ph.D menyatakan bahwa karakter adalah cara berfikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan berkerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, maupun negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan yang dibuat.
Amanah UU Sisdiknas
Pendidikan kaakter merupakan amanah UU Sisdiknas tahun 2003, yang menyatakan bahwa salah satu tujuan pendidikan nasional adalah pengembangan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian, da akhlaq mulia. Hal itu dimaksudkan agar hasil pendidikan tidak hanya sekedar mencetak anak yang memiliki kecerdasan intelektual tetapi juga cerdas kepribadian dan karakternya, sehingga akan melahirkan generasi bangsa yang tumbuh dan berkembang dengan karakter yang bersumber dari nilai-nilai luhur bangsa dan agama.
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan, perasaan, dan tindakan. Tanpa ketiga aspek ini, pendidikan karakter tidak akan efektif (Thomas Lickona). Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi merupakan modal utama seorang anak dalam menyongsong kesuksesan di masa depan, karena anak akan siap menghadapi segala persoalan yang dihadapinya, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Tantangan guru
Guru adalah salah satu orang yang paling bertangung jawab terhadap pementukan karakter peserta didik. Di tangan gurulah karakter peserta didik dapat dibentuk dan dibangun. Mengingat begitu besarnya peran guru dalam pembentukan karakter peserta didik, maka seorang guru harus memiliki kemampuan untuk membangun karakter peserta didiknya. Salah satu faktor yang harus dimiliki oleh guru adalah karakter itu sendiri. Artinya, guru yang dibebani tanggung jawab membentuk karakter peserta didik harus memiliki karakter yang baik karena guru akan menjadi sumber pembelajaran peserta didik.
Salah satu kendala yang akan dihadapi guru dalam mengaplikasikan pendidikan karakter adalah masih terlalu tingginya fokus guru terhadap ujian nasional. Diakui atau tidak, selama ini guru masih sangat fokus pada keberhasilan ujian nasional. Hari-harinya dihabiskan untuk mentransfer ilmu pengetahuan ke dalam diri peserta didik. Baginya akan sangat membahagiakan manakala semua materi pelajaran dapat diserap oleh peserta didik sehingga kala ujian nasional digelar mendapatkan hasil yang memuaskan.
Sesungguhnya norma-norma yang berlaku di masyarakat masih mengatakan bahwa anak yang memiliki sopan santun, berakhlaq baik, hormat kepada orang tua merupakan idaman setiap orang. Kita akan lebih senang lagi manakala anak yang berkrakter baik itu juga pandai. Sebaliknya, kita akan sangat kecewa jika mengetahui anak yang pandai, jenius, tetapi sombong, tidak hormat kepada orang tua, serta tidak tahu tata krama. Oleh karena itu, kita berkewajiban mendidik peserta didik untuk tidak sekedar pandai secara akademis tetapi juga menciptakan kader bangsa yang berakhlaq mulia.
Sudah tiba saatnya guru kembali memanggul tugas tidak hanya sebagai pentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi juga sebagai pembentuk karakter peserta didik. Semua guru, dari pengampu mata pelajaran apapun, secara bersama-sama berkewajiban mendidik, menata karakter peserta didik sesuai dengan mata pelajaran masing-masing. Ikatan emosional kita sebagai orang tua harus lebih terjalin dengan erat. Boleh jadi kita tidak mampu menghafal nama-nama peserta didik karena jumlahnya yng begitu banyak, tetapi kita tidak boleh tinggal diam dengan status kita sebagai orang tua mereka.
Guru yang hanya mengajar dan mentransfer ilmu kepada peserta didik adalah guru yang mengkhianati UU tahun 2003 tentang Sisdiknas. Guru yang tidak bertangung jawab terhadap pendidikan karakter adalah guru yang keluar dari kodratnya. Al Ghazali mengatakan bahwa karakter kepribadian anak lebih utama daripada kepandaian tanpa karakter. Wujud yang paling sempurna di dunia ini adalah manusia, dan bagian yang paling mulia dari manusia adalah hatinya. Tugas guru adalah menyempurnakan, membesarkan, membersihkan, dan menggiring hati menuju ke jalan Tuhan.

0 Response to "PENDIDIKAN KARAKTER"

Posting Komentar