Guru, antara Kenaikan Tunjangan dan Kinerja



Kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Perpres Nomor 52 Tahun 2009 bakal meramaikan silang pendapat tentang guru di masing-masing daerah. Masih terngiang di telinga kita bagaimana pemerintah daerah menyikapi berbagai kebijakan pemerintah pusat terkait guru. Mulai dari tunjangan makan bagi guru, kenaikan pangkat, hingga pengangkatan guru bantu, hampir semuanya menuai permasalahan di masing-masing daerah.
Kunci permasalahannya sebenarnya sederhana saja, keterbatasan anggaran di masing-masing daerah, atau barangkali memang ada permasalahan lain yang lebih urgen. Lantas, apa mungkin tambahan penghasilan sebesar Rp 250.000,00 yang dirapel mulai Januari 2009 itu mampu dibayarkan oleh masing-masing daerah pada tahun 2010 ini? Jawabannya ada di tangan pemerintah daerah dan guru itu sendiri.
Kepala daerah, dalam hal ini Dinas Pendidikan, tentu harus menghitung ulang berapa biaya yang akan dikeluarkan untuk membayar tunjangan sebesar Rp 250.000, 00 per guru PNS yang belum bersertifikat ini. Tentu saja ini bukan jumlah yang kecil, mengingat masih banyak guru yang belum mendapatkan Tunjangan Profesi Pendidik (TPP) sampai dengan tahun 2009. Sementara itu, guru yang yang sudah mendapatkan TPP masih belum banyak yang mengalami peningkatan kualitas kinerjanya. Kita masih sering menjumpai guru yang sudah bersertipikat pendidik tetapi masih sering datang terlambat, apalagi jika mereka sedang tidak mengajar jam pertama atau memang bukan guru mata pelajaran.
Mereka yang sudah bersertipikat pendidik memiliki kewajiban mengajar tatap muka sedikitnya 24 jam per minggu dan maksimal 40 jam per minggu. Perlu diingat pula bahwa tugas seorang guru tidak hanya mengajar tatap muka, tetapi juga kewajiban menyelesaikan tugas-tugas nontatap muka yang lain, seperti menyusun program pembelajaran, melaksanakan evaluasi, melaksanakan analisis hasil evaluasi, serta tugas-tugas tambahan lainnya, yang jika dikalkulasi dalam seminggu sedikitnya berjumlah 37,5 jam riil (60 menit per jam). Jika dibagi rata-rata dalam setiap hari, maka seorang guru wajib berada di sekolah mulai jam 07.00 sampai dengan 13.45, sedangkan hari Jumat mulai jam 07.00 sampai dengan 11.00. Jadi, menjadi sangat ironis jika seorang guru pada jam 07.00 masih belum berada di sekolah dan atau sebelum jam 13.45 sudah meninggalkan sekolah.
Sebenarnya, Perpres Nomor 52 Tahun 2009 itu tidak lain dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja guru. Ini sangat jelas mengingat gaji guru di Indonesia, terutama yang belum bersertipikat, masih sangat jauh untuk dikatakan menyejahterakan. Dibanding dengan gaji guru negara-negara tetangga, gaji guru kita masih relatif  lebih rendah sehingga sangat wajar jika pemberian tambahan tunjangan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan guru, yang pada muaranya dapat meningkatkan kinerjanya. Bahkan, melalui tambahan tunjangan ini diharapkan sang guru mampu meningkatkan kualifikasinya sebagai pendidik dengan munculnya kesadaran untuk meningkatkan disiplin ilmu masing-masing.
Mengingat begitu pentingnya makna sebuah pendidikan bagi masa depan bangsa, tidak perlu lagi ada alasan untuk tidak melaksanakan Perpres Nomor 52 Tahun 2009 ini. Oleh karena itu, jika pemerintah daerah kesulitan untuk merealisasikannya, maka pihak Dinas Pendidikan harus melakukan penataan ulang program-program kerjanya sehingga pembayaran tambahan tunjangan bagi guru dapat direlisasikan. Atau, duduk bersama antara guru dan Dinas Pendidikan untuk mencarikan solusi yang tepat. Lahirkan komitmen bersama yang saling menguntungkan. Guru jangan hanya sekedar minta gaji tinggi tetapi kerja kedodoran. Tinggalkan sikap egois masing-masing, dan jangan hanya berpikir untuk sesaat. Berpikirlah jauh ke depan, untuk generasi muda masa depan bangsa.
Untuk masa depan sebuah bangsa tidak ada yang namanya pemborosan uang negara. Pemborosan uang negara dapat terjadi jika uang negara tidak dimanfaatkan untuk kepentingan dan kemakmuran bangsanya, misalnya korupsi, penggunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Jadi, selama uang negara dimanfaatkan untuk menyejahterakn warganya, apalagi dimanfaatkan untuk masa depan generasi muda, maka harus didukung oleh siapapun juga.
Jika selama ini masih banyak orang yang menyangsikan kebermaknaan pemberian kenaikan tunjangan bagi guru, itu merupakan hal yang wajar-wajar saja. Permasalahannya, tidak sedikit guru yang tidak memiliki kualifikasi sebagai seorang pendidik yang ideal. Namun,  seperti yang telah disampaikan di atas, komitmen bersama antara pemerintah dengan guru harus dibangun dengan harmonis. Celah-celah yang selama ini sering terjadi antara pemerintah daerah dan guru harus segera dihilangkan. Bangun komunikasi yang harmonis sehingga melahirkan komitmen bersama yang melahirkan kualifikasi guru ideal.
Sebagai seorang guru, saya berkeyakinan jika kenaikan tunjangan ini dibayarkan dan diikuti dengan komunikasi yang mesra, maka ke depan tidak aka ada lagi guru yang malas, guru yang tidak professional, guru yang bisnis, bahkan guru yang tukang ojek. Yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah, bagaimana kita membangun komunikasi untuk melahirkan komitmen tersebut, mengingat komunikasi antara guru dengan pemerintah daerah, di beberapa daerah selama ini terjalin tidak mesra. Demo-demo guru menghiasi beberapa daerah sepanjang tahun 2009.  Orang bijak mengatakan, “jika telah terjadi sebuah permasalahan, maka mohon ampunlah kamu kepada Tuhanmu, dan maafkan kesalahan saudara-saudaramu.”
Salah satu penentu keberhasilan pendidikan adalah guru. Oleh karena itu, jika permasalahan yang selama ini dialami guru dapat diatasi, maka secara makro kualitas pendidikan di Indonesia dapat ditingkatkan.

0 Response to "Guru, antara Kenaikan Tunjangan dan Kinerja"

Posting Komentar